Keterangan Ahli: Metode Omnibus pada UU Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat

Keterangan Ahli: Metode Omnibus pada UU Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat

Jamaludin Ghafur dari Universitas Islam Indonesia sebagai Ahli pada sidang MK pengujian formil UU Cipta Kerja, Senin (7/8/2023). foto Handi

Ada yang menarik dari pemaparan Ahli, Jamaludin Ghafur pada sidang kali ini, bahwa sesungguhnya pemerintah telah melanggar konstitusi karena putusan MK Nomor 91 adalah peluang pemerintah melakukan revisi, diberi waktu 2 tahun, akan tetapi malah menciptakan peraturan dengan Perppu.

Baca juga:  Pemohon Hadirkan Saksi Ahli Perkuat Dalil Pengujian Formil UU Cipta Kerja ,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Parulian Sianturi Kuasa Hukum KSBSI perkara 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Pemohon KSBSI yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban, Presiden KSBSI dan Dedi Hardianto, Sekretaris Jenderal KSBSI dengan Kuasa Hukum, Haris Isbandi, S.H., Harris Manalu, S.H. dan kawan-kawan mengatakan bahwa sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli, Jamaludin Ghafur dari Universitas Islam Indonesia.

"Ada yang menarik dari pemaparan Ahli, Jamaludin Ghafur pada sidang kali ini, bahwa sesungguhnya pemerintah telah melanggar konstitusi karena putusan MK Nomor 91 adalah peluang pemerintah melakukan revisi, diberi waktu 2 tahun, akan tetapi malah menciptakan peraturan dengan Perppu." kata Parulian usai mengikuti jalannya sidang MK di Jakarta, Senin (07/08/2023).

Hal itu, ditafsirkan Ahli sebagai akal-akalan, seolah-olah ada kegentingan yang memaksa, dan tadi sudah dibantah, bahwa tidak ada kegentingan yang memaksa.

"Yang menarik lagi bahwa dalam mekanisme pembuatan, apakah pembuatan Undang-Undang dengan Perppu sama, ini jelas berbeda. Penekanannya bahwa, soal perencanaan tadi, jadi ini tidak terlihat proses perencaannya dan tidak melibatkan partisipan publik." jelas Parulian.

Sementara itu, Melansir dari website MKRI bahwa, Pasal 42A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.” Sehingga norma ini secara jelas telah mengatur penggunaan metode omnibus dalam penyusunan perancangan peraturan yang “harus” dimuat dalam dokumen perencanaan. Sebab undang-undang ini mengawinkan proses perencanaan hingga pengundangan.

Demikian keterangan yang disampaikan Jamaludin Ghafur dari Universitas Islam Indonesia sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Partai Buruh (Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kedelapan untuk perkara pengujian formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini digelar pada Senin (7/8/2023). Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan, yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang ketujuh ini yakni mendengarkan keterangan Ahli para Pemohon.

Lebih lanjut Jamaludin menyebutkan, penggunaan metode ini mencantumkan kata “harus” yang bermakna peraturan perundang-undangan menghendaki norma yang disusun harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan menjadi syarat sah dari penggunaan metode omnibus tersebut dapat digunakan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.

“Tanpa ditetapkan demikian maka undang-undang yang telah dirancang tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat. Maka peraturan perundang-undangan yang dapat disusun hanya terbatas pada peraturan yang memungkinkan proses perencanaan terlebih dahulu. Bagaimana dengan Perppu atau yang selevelnya, hal ini tidak dimungkinkan terjadi karena tidak tersedia prosedur perencanaan di dalamnya. Maka Perppu Cipta Kerja ini jelas tidak memenuhi syarat sebagai bentuk hukum peraturan  yang dapat disusun dengan metode omnibus. Sehingga, ini jelas terdapat kekeliruan pada metode pembentukan hukumnya,” jelas Jamaludin.

Cacat Hukum

Selanjutnya Jamaludin menerangkan cacat hukum formil dalam tahap persetujuan UU Cipta Kerja ini di DPR. Menurutnya, wewenang Presiden dalam membentuk Perppu telah disebutkan oleh konstitusi dengan menetapkan batasannya pada Pasal 22 UUD 1945, bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Selain itu, sambung Jamaludin, aturan berikutnya terdapat pula pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Titik tekan pada pasal ini terdapat pada persetujuan DPR pada persidangan berikutnya dan bukan pada masa pengajuan naskah Perppu oleh presiden pada sidang berikutnya. Sehingga tindakan Presiden mengajukan Perrpu dalam sidang berkutnya menjadi konsekuensi logis dari konstitusi.

“Artinya keabsahan penetapan Perppu menjadi undang-undang tidak selesai dengan Presiden menyerahkan naskah karena masa sidang berikutnya dan DPR belum memberikan persetujuan. Bahwa naskah Perppu ini diajukan pada 30 Desember 2022, sementara jadwal sidang terdekat setelahnya ada pada 10 Januari 2023–16 Februari 2023, namun masa persidangan ini hanya dilakukan pembahasan dan pencermatan. DPR baru memberikan persetujuan dalam sidang pada Selasa 21 Maret 2023. Oleh karena itu, intinya tindakan DPR ini tidak memberi persetujuan sesuai waktunya ini merupakan tindakan inkonstitusional yang berimplikasi pada tidak sahnya penetapan Perppu sebagai undang-undang,” terang Jamaludin.

(RED)


Komentar