Saksi Ahli Sidang MK: Perppu Cipta Kerja Tidak Sesuai Amar Putusan MK

Saksi Ahli Sidang MK: Perppu Cipta Kerja Tidak Sesuai Amar Putusan MK

Kuasa hukum perkara 41/PUU-XXI/2023 saat bersidang di ruang sidang MK, Rabu (02/08/2023). (foto;handi)

Jadi menurut Prof bahwa beliau mengambil 5 dasar untuk menguji sah apa tidaknya, yang pertama dan kedua mengenai segi waktu, Ia melakukan setuju, tapi mengenai proses, beliau mengatakan bahwa belai tidak setuju.

Baca juga:  Sidang MK UU Cipta Kerja, Keterangan DPR RI Terkesan Bersilat Lidah, KSBSI: Perlunya Penguatan Jejaring Regional untuk Mendorong Perlindungan Pekerja Perikanan,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Saut Pangaribuan, Kuasa Hukum perkara 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Pemohon KSBSI yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban, Presiden KSBSI dan Dedi Hardianto, Sekretaris Jenderal KSBSI dengan Kuasa Hukum, Haris Isbandi, S.H., Harris Manalu, S.H. dan kawan-kawan mengatakan persidangan hari ini di MK mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli dari perkara nomor 46/PUU-XXI/2023. 

"Ya tadi saksi ahli bernama dokter Aang yang disampaikan, dia menyampaikan juga tentang sah tidaknya secara pembentukan undang-undang nomor 6 tersebut." kata Saut usai sidang MK di Jakarta, Rabu (02/08/2023). 

"Jadi menurut Prof bahwa beliau mengambil 5 dasar untuk menguji sah apa tidaknya, yang pertama dan kedua mengenai segi waktu, Ia melakukan setuju, tapi mengenai proses, beliau mengatakan bahwa belai tidak setuju." jelasnya. 

Lebih lanjut, Saut, menjelaskan bahwa dari kelima ukuran tersebut ada tiga hal yang tidak diikuti oleh pemerintah melalui proses, jadi alat ukur untuk menyatakan sah atau tidaknya pembentukan undang-undang ini harus di batuujibya dengan undang-undang 13 tahun 2003, bukan undang-undang 12 yang telah dirubah. 

Dilansir dari website MKRI, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaanya pada dalam persidangan yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang ketujuh ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.

Pemohon Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 menghadirkan Ahli yaitu Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Aan mengatakan pada saat pembentukan UU Cipta Kerja, sudah berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang diundangkan pada tanggal 16 Juni 2022. Dalam penjelasan umum UU P3 pada intinya disebutkan bahwa penataan dan perbaikan dalam UU ini merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 juga sebagai penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan UU 12/2011.

Menurut Aan, hal ini sudah jelas dimaksudkan sebagai tindak lanjut putusan MK terkait dengan metode omnibus law ditambahkan. Kemudian untuk memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rangka paripurna dan sebelum pengesahan dan pengundangan. Selain itu, memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Dengan demikian, sambungnya, dari sisi teknik penyusunan undang-undang, UU a quo yang merupakan obyek pengujian yang dimaksudkan sebagai perbaikan UU 11/2010 menurutnya telah sesuai dengan amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Amar putusan MK 91/2020 menyatakan bahwa pembentukan UU 11/2010 bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak diucapkan,” kata Aan di hadapan Ketua Sidang Pleno MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.

Berdasarkan putusan tersebut, jelas Aan, maka dimaknai MK memerintahkan kepada pembentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020 dengan membentuk UU sebagai perbaikannya. “Dengan adanya Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja sebagai perbaikan, maka menurut ahli tidak sesuai dengan amar putusan MK yang memerintahkan dibentuk undang-undang. Suatu undang-undang dibentuk dengan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan bersama DPR. Tahapan pembentukan Perppu berbeda dengan pembentukan undang-undang. Alasan pembentukan perppu juga berbeda dengan alasan pembentukan undang-undang. Kalau kemudian Perppu ditetapkan DPR menjadi UU merupakan perintah konstitusi yang mau tidak mau dilakukan oleh DPR dalam hal DPR menyetujui Perppu. UU penetapan Perppu tidak dapat dipersamakan dengan UU yang bukan penetapan Perppu,” jelas Aan.

Lebih lanjut Aan menjelaskan UU 11/2020 bukanlah UU yang berupa penetapan Perppu sehingga perbaikannya pun seharusnya tentang jenis undang-undang yang bukan penetapan Perppu. Dari sisi materi muatan, Aan menyebut UU Nomor 6 Tahun 2023 sebagai obyek pengujian ini yang dimaksudkan sebagai perbaikan UU 11/2020. “Menurut ahli tidak sesuai dengan Putusan MK 91/2020,” lanjutnya

Kemudian dari sisi proses pembentukan, Aan menyebut dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 disebutkan bahwa salah satu kesalahan UU 11/2020 adalah bertentangan dengan asas keterbukaan sehingga pembentukannya harus melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna. Dalam hal pembentukan UU, alih-alih membentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020, Presiden justru membentuk Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja kemudian DPR menyetujuinya dan menetapkannya sebagai UU.

Sementara Sri Palupi selaku saksi Pemohon mengatakan telah membaca putusan MK dimana MK menyatakan UU Cipta Kerja itu sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memberikan waktu bagi pemerintah untuk memperbaiki dalam waktu dua tahun. Apabila dalam waktu tersebut pemerintah tidak menjalankannya maka UU ini akan inskonstitusional permanen.

Di dalam putusan MK tersebut, Sri menjelaskan, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan tindakan ataupun kebijakan strategis yang berdampak luas. Dan tidak membolehkan membuat aturan yang baru. “Apa yang saya lihat, saya dengar dan amati, saya menyimpulkan ada dua hal yang diajukan saat ini yang pertama adalah bahwa pemerintah sudah tidak mematuhi putusan MK dengan mengambil tindakan untuk kebijakan strategis. Yang kedua, pelaksanaan UU Cipta Kerja terbukti telah memberikan dampak negtaif  serius terkait dengan tata kelola hutan, lingkungan dan terhadap kehidupan masyarakat,” ujarnya.

(RED)


Komentar