KSBSI.ORG: Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh se Jatim sebanyak 25 orang didampingi oleh Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur bertandang ke Kemenkopolhukan RI untuk menyampaikan aspirasi dan penegasan sikap terhadap penolakan UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (14/10). Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB s.d. 16.00 WIB dipimpin langsung oleh Mahfud MD, Menkopolhukam RI.
Baca juga: Dibeberapa Wilayah, KSBSI Masih Aksi Menolak UU Cipta Kerja, Sebagian (11) Masalah Dalam UU Cipta Kerja Bagi Buruh ,
Pertemuan yang berlangsung di Lantai 6
Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, secara khusus membahas Undang-Undang
Cipta Kerja.
Dalam pertemuan tertutup itu, 25
perwakilan serikat buruh dan pekerja Jawa Timur, antara lain Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(SPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)..
Delapan di antara perwakilan serikat
pekerja yang hadir menyampaikan aspirasi dan berbagai masukan untuk pemerintah
pusat. Sedangkan perwakilan lainnya meminta penjelasan mengenai sejumlah aturan
dalam UU Cipta Kerja.
Ketua
KSBSI Jawa Timur, Akhmad Soim, SH, MH
mengatakan pihaknya menilai pembuatan UU (Omnibus Law) Tentang Cipta Kerja ini
cacat prosedur, terburu-buru dan dipaksakan untuk segera disahkan. Sehingga
penyerapan aspirasi tidak dilakukan secara maksimal.
“Menyikapi adanya pengesahan UU (Omnibus
Law) tentang Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 5 Oktober
2020 lalu, dengan ini kami menyampaikan sikap penolakan kami sebagai berikut :
1. Bahwa aksi demonstrasi yang dinamakan
Mogok Nasional yang kami lakukan pada tanggal 6, 7 dan 8 Oktober 2020 di Jawa
Timur merupakan aksi tertib, damai dan murni aksi Gerakan serikat
pekerja/serikat buruh tanpa ada yang menunggangi dan mendani. Selain itu pula
aksi-aksi demonstrasi semacam ini tidak hanya dilakukan pada saat kepemimpinan
Presiden Joko Widodo, namun juga telah kami lakukan pada saat kepemimpinan
Presiden-Presiden sebelumnya, seperti ponolakan revisi UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan pengesahan RUU BPJS.
2. Bahwa dalam proses perancangan,
pembahasan sampai dengan diputuskannya dalam rapat paripurna RUU (Omnibus Law)
tentang Cipta Kerja ini terkesan terburu-buru sehingga tidak menampung aspirasi
masyarakat khususnya pekerja/buruh secara maksimal.
3. Bahwa setelah kami membaca UU
(Omnibus Law) tentang Cipta Kerja yang telah disahkan, baik yang versi 1035
halaman dan versi 812 halaman, banyak pasal-pasal yang merugikan pekerja/buruh
dan sama sekali tidak menjawab alasan serta urgensinya ditetapkannya UU
(Omnibus Law) tentang Cipta Kerja ini yaitu untuk mensejahterakan masyarakat
pekerja/buruh dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a. Upah Minimum
Dalam UU (Omnibus Law) tentang Cipta
Kerja tersebut Gubernur hanya berkewajiban menetapkan uapah minimum provinsi
(UMP) dan tidak ada kewajiban Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota
(UMK), serta dihilangkannya upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK)
dan/atau upah minimum sektoral provinsi (UMSP).
Bahwa selama ini upah minimum provinsi
ditetapkan oleh Gubernur bagi daerah yang tidak memiliki wilayah
Kabupaten/Kota, seperti Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan untuk wilayah provinsi
Jawa Timur dan provinsi-provinsi lain yang memilik daerah kabupaten/kota
berlaku upah minimum kabupten/kota (UMK), Adapun contoh penetapan upah minimum
provinsi di Jawa Timur sejak tahun 2016 dengan mengambil nilai upah minimum
kabupaten/kota terandah di Jawa Timur yang itu hanya dijadikan formalitas
semata, semisal UMP Jawa Timur tahun 2020 sebesar Rp. 1.768.777,08, sedangkan
untuk UMK Surabaya sebesar Rp. 4.200.479,19 dan untuk UMSK Kab. Sidoarjo
sebesar Rp. 4.571.004,22.
Dengan demikian apabila UU (Omnibus Law)
tentang Cipta Kerja diberlakukan, maka pekerja/buruh yang awalnya mendapatkan
UMK/UMSK berpotensi hanya mendapatkan UMP yang nilainya jauh lebih rendah dari
UMK/UMSK.
b. Pesangon Dikurangi dan tidak jelas
keperuntukannya. Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
nilai pesangon apabila pekerja/buruh di PHK akan mendapatkan sebanyak 43,7 kali
upah (Pasal 172), sedangkan dalam UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja yang
diperkuat dengan keterangan Pemerintah, bahwa pesangon akan dikurangi menjadi
25 kali upah, dengan rincian 19 dibayar pengusaha dan 6 dibayar melalui BPJS
Ketenagakerjaan, yang demikian jelas pekerja/buruh akan dirugikan sebanyak 18,3
kali upah, artinya semangat UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja akan
memberikan kesejahteraan bagi pekerja tidak terjawab, malah justru merugikan
pekerja/buruh. Bahwa ketentuan jenis PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 160 s/d
pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan telah di hapus dalam UU
(Omnibus Law) tentang Cipta Kerja dan akan diatur dalam peraturan pemerintah,
fakta ini membuktikan bahwa UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja selain tidak
memberikan kesejahteraan bagi pekerja/buruh disamping itu malah menjadikan
semakin banykannya peraturan perundang-undangan yang baru, artinya bukan malah
merampingkan undang-undang.
c. PKWT (perjanjian kerja waktu
tertentu) Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur batas
waktu pengusaha untuk menerapkan system PKWT yaitu maksimal 3 tahun, akan
tetapi dalam UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja ini ketentuan tersebut
dihilangkan, sehingga memungkinkan pekerja berstatus karyawan kontrak (PKWT)
seumur hidup.
d. Out Sourcing
Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur hanya 5 jenis pekerjaan yang bisa diterapkan system
hubungan kerja Out Sourcing, dan ini juga telah dikuatkan oleh Mahkamah
Konstitusi, kan tetapi dalam UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja ketentuan
tersebut dihilangkan, sehingga dengan demikian semua junis pekerjaan akan bisa
di Outsourcing kan, kondisi yang demikian jelas menjadikan pekerja/buruh tidak
memiliki kepatian dalam hubungan kerja dan tidak mendapatkan kesejahteraan.
e. UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja
Kontradiktif Dengan Isi Peraturan perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB)
Bahwa salah satu alasan diciptakannya UU
(Omnibus Law) tentang Cipta Kerja yaitu bertujuan untuk menarik Investasi, hal
ini kami sepakat, namun demikian isi dari UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja
ini telah merusak hubungan industrial yang harmonis ditingkat perusahaan,
dimana pekerja/buruh telah menjalin kesepakatan-kesepakatan dengan pengusaha
dalam bentuk PP dan PKB yang isinya lebih baik dari UU (Omnibus Law) tentang
Cipta Kerja ini, misalnya terkait Upah dan pesangon, sehingga sangat tidak
rasional apabila kesepakatan tersebut harus diturunkan nilainya atau harus
menuruti isi dari UU (Omnibus Law) tentang Cipta Kerja ini,” katanya.
Menurut Soim, hal itu langsung
ditanggapi oleh Mahfud MD, Menkopolhukam RI bahwa ada tiga hal Pertama Mahfud
MD. mengakui bahwa terkait aksi demonstrasi serikat pekerja/serikat buruh yang
dilakukan pada tanggal 6, 7 dan 8 Oktober 2020 lalu merupakan murni perjuangan
kaum buruh, sehingga tidak ada yang menunggangi ataupun yang mendanai.
“Dengan memperhatikan uraian alasan
tersebut diatas, Kepada Bapak Presiden RI melalui Bapak Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI berharap agar : “Menunda pembelakuan UU
(Omnibus Law) tentang Cipta Kerja dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang”.
2. Terkait angka angka secara subtansi
di kementerian tenaga kerja yg hari jumat sampai selesai dewan pengupahan
nasional dan semua propinsi rapat dijakarta.
3. Menkopolhukam akan koordinasi
aspirasi baik ke dpr ri dan presiden;
4. terkait uu ppmi agar diperketat
perizinannya bagi pt dan untuk menghindari pencaloan serta dikembalikan ke
pemerintah agar masyarakat tidak digiring bekerja keluar negeri;
5. Bahwa karena pembentukan RUU omnibus
law cacat formil karena terjadi perubahan² setelah disahkan oleh karenanya UU
Cipta kerja harus dibatalkan pemberlakuannya dan diganti dengan Perppu
sebagaimana pernah dilakukan pemerintah saat membatalkan UU No.25 Tahun 1997
Tentang Ketenagakerjaan,” imbuhnya.sumber: kabardaerah.com.