Pada 25 Agustus lalu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah kembali membuka penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Negara Singapura dan Brunei Darusalam. Kemudian disusul dengan Hongkong. Tapi pembukaan penempatan ini harus melalui syarat protokol kesehatan (Prokes) yang ketat untuk sampai ke negara tersebut dan ada karantinanya selama 14 hari.
Baca juga: Menaker Klaim Dana BSU Sudah Disalurkan Kepada 3,2 Juta Pekerja,
Kemudian, untuk daerah Timur Tengah, beberapa negara
diwilayah itu sedang membutuhkan PMI, khususnya dibidang tenaga kesehatan (Nakes).
Dan juga ada karantinanya di negara Bahrain, sebagai perantara. Namun
pemerintah belum menyepakatinya, karena mempersulit PMI. Begitu juga dengan
beberapa di negara Eropa sudah mulai membuka masuknya PMI.
Yatini Sulistyowati Ketua Departemen Buruh Migran
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan dibukanya
penempatan PMI ke luar negeri ini sudah menjadi kesepakatan serta kerja sama
dua negara. Pasalnya, sejak dunia dilanda pandemi Covid-19 yang terjadi awal
2020 lalu, banyak negara yang menutup warga negara asing masuk ke negaranya.
“Sehingga PMI resmi kita yang sudah mengikuti proses
dan hendak bekerja di negara penempatannya banyak yang ditunda berangkat.
Karena alasan untuk mencegah terjadinya ledakan kasus Covid-19 diberbagai negara,”
ucapnya saat diwawancarai, di Cipinang Muara, Jakarta Timur (7/9/2021).
Selain itu, pada 8 September bulan ini, KSBSI ikut
terlibat dalam zoom meeting forum Asean Forum Migrant Labour. Dimana dalam
pembahasan tersebut, membicarakan dua tema. Pertama tentang proteksi PMI
wilayah negara ASEAN ditengah Covid-19. Untuk pembahasan kedua proses pemulihan
pasca pandemi Covid-19.
“Intinya, dalam forum ini dihadiri 10 negara
perwakilan ASEAN. Tujuannya untuk merumuskan perlindungan pekerja migran ASEAN
dimasa pandemi dan perwakilannya dari pemerintah, perwakilan aktivis buruh
migran dan asosiasi pengusaha,” ujarnya.
Dalam pertemuan forum itu, KSBSI merekomendasikan agar
setiap pekerja migran tidak mendapat perlakuan diskiriminasi dan stigmasisasi,
bahwa itu pembawa virus Corona. Pemerintah juga harus memperhatikan PMI agar
mendapatkan program bantuan sosial dimasa pandemi. Sebab PMI kita ini kan dalam
undang-undang berlaku diwajibkan peserta jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan
dan Kesehatan.
“Jadi mereka berhak mendapatkan bantuan subsidi upah,
karena banyak PMI yang bekerja di luar negeri ikut menjadi korban Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dampak Covid-19. Tapi yang kami sesalkan, pemerintah
sampai hari ini belum terlalu memikirkan nasib PMI dalam masalah ini,”
ungkapnya.
Terakhir Yatini juga menghimbau, bagi masyarakat atau
calon PMI yang ingin bekerja diluar negeri tetap mengikuiti jalur resmi. Sebab
pola rekrutmen melalui jalur ilegal berdampak tidak baik. Serta bisa menjadi
korban kasus penipuan dan perdagangan manusia. (A1)