KSBSI.org, Massa yang tergabung dalam aliansi Serikat Pekerja/Buruh Sektor Tekstil, Garment, Sepatu, Kulit (DSS-TGSL) melakukan aksi demo di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker ) Jakarta. Massa buruh ini menolak dan mendesak agar ida Fauziyah Menteri Tenaga Kerja (Menaker) segera mencabut Kepmenaker No. 104/2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19.
Baca juga: Pemerintah Optimalkan P2K3 Dalam Mengatasi Penyebaran Covid-19 di Dunia Kerja ,
Kepmenaker
No. 104 ini juga dinilai merujuk Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja No.11
Tahun 2020 yang mayoritas ditolak oleh buruh. Dimana dalam Kepmenaker tersebut
juga menjelaskan bahwa:
-
Selama masa pandemi Covid-19, dimungkinkan perusahaan tetap melakukan proses
produksi dengan mengurangi jumlah buruh, melakukan kerja bergilir, mengurangi
jam kerja.
-
Selama terjadi pengaturan ulang proses produksi, dimungkinkan dilakukan
merumahkan buruh, pengurangan upah, pengurangan dan/atau penghapusan tunjangan,
tidak melakukan perpanjangan kontrak kerja, dan atau pemberlakuan pensiun.
-
Hal-hal tersebut dalam point 2 dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis
antara pengusaha dan buruh termasuk (lampiran Kepmenaker No.140/2021, bab II
point B angka 3-5).
Aliansi
DSS-TGSL menilai terbitnya Kepmenaker No. 104 adalah aturan yang tidak
konsisten dan bisa membunuh harapan kaum buruh dimasa pandemi Covid-19, bauk
dari segi kesehatan dan kesejahteraan. Seolah-olah pemerintah hanya memihak
pada kepentingan pengusaha, tapi menganaktirikan nasib pekerja buruh yang
selama ini berperan besar penggerak roda ekonomi negara.
Tri
Pamungkas Ketua Konsolidasi DPP FSB GARTEKS mengatakan Kepmenaker No. 104
tersebut telah menunjukan Kementerian Ketenagakerjaan mengabaikan hak-hak
serikat buruh dan anggotanya di perusahaan. Karena, kebijakan tersebut
memungkinkan negoisasi ulang antara buruh dan pengusaha.
Hal
ini tentu berarti keputusan Menaker justru menegasi pasal 4 ayat 1 UU No.21 UU
No.21 Tentang Serikat Pekerja/Buruh yang berbunyi ‘Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaaan
hak dan kepentingan, serta meningkatkan yang layak pekerja/buruh dan
keluarganya.
“Artinya,
Kepmenaker No.104/2021 pelanggaran serius terhadap pasal 8 ayat (2) Konvensi
ILO No.87 tentang kebebasan berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi.
Serta terjadi pelanggaran serius terhadap pasal 4 Konvensi ILO No. 98 Tentang
Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama,” ucapnya, Kamis (21/10/2021).
Lanjutnya,
dia menerangkan pasca terbitnya Kepmenaker No.104, sejumlah pabrik sudah
menerapkan praktik pemanggilan buruh secara individual. Oleh pihak perusahaan,
buruh ini dimintai penandatanganan persetujuan penurunan upah atau penghapusan
tunjangan.
Kemudian,
surat persetujuan dibuat secara individu atau massal dan dijadikan dasar
pembenaran pengurangan upah dan tunjangan. Padahal, proses produksi terus
berlangsung penuh dan buruh tidak melihat dampak pandemi pada laju order dan
produksi.
“Masalah
ini sangat menggenaskan, karena beban buruh bertambah dengan ancaman kesehatan,
klaster pabrik berbenturan dengan kebutuhan hidup buruh dan keluarganya,”
terangnya.
Aliansi
DSS-TGSL menegaskan jika Kepmenaker No. 104 tidak disikapi, perjuangan buruh
akan semakin melemah dan kesejahteraan buruh merosot. Seharusnya, dimasa
pandemi Covid-19, pemerintah lebih memihak masyarakat, namun justru telah
melakukan pelanggaran hak asasi. Karena terkesan lebih membela kelompok
pengusaha dan pemegang kuasa.
Oleh
sebab itu, aliansi DSS-TGSL (Dialog Sosial Sektoral Tekstil Garment Sandang
Kulit) menuntut:
1.
Cbut Kepmenaker 104/2021, peraturan ini jelas melanggar hak asasi dan hak legal
serikat buruh untuk mewakili anggotanya melakukan perundingan berkaitan dengan
hak-hak kerja selama masa pandemi. Peraturan tersebut juga melanggar hak buruh
untuk dibela oleh serikat buruh, membiarkannya sendirian dalam relasi tak
seimbang dimasa pandemi Covid-19.
2.
Menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan asertf memastikan terjadinya
perundingan kolektif dalam rencana menegoisasi ulang hak-hak kerja masa pandemi
Covid-19. Hanya dengan cara demikian buruh individual bisa melakukan negoisasi
dalam posisi setara dengan majikan.
3.
Menyerukan penghentian upaya sistematis mengorbankan nasib buruh dimasa pandemi
Covid-19. Pandemi ini memang membawa berbagai dampak buruk bagi semua orang
tanpa terkecuali. Tapi patut diingat, bahwa burun dan keluarganya yang berada
dalam strata paling bawah kelas sosial adalah mereka yang paling menderita
ditengah situasi Covid-19. Itu sebabnya, sangat penting untuk mendahukukan
mereka dalam segala upaya penanggulangan dampak pandemi. Serta mendesak
menghentikan upah murah.
4.
Berikan jaminan upah dan kerja layak bagi buruh.
Dia
juga menegaskan sikap kecewa pada Kementerian Ketenagakerjaan. Pasalnya, saat
perwakilan DSS-TGSL ingin berdialog terkait tuntutan demo, Ida Fauziyah sebagai
Menaker tidak mau menemui. Termasuk dari Dirjen juga tak mau mau menemui.
“Tapi
hanya ditemui bagian direktur pengupahan untuk mengajak dialog,” ucapnya.
Tentu
saja pihaknya merasa kecewa, karena yang mengajak dialog bukan orang yang
berkompeten dibidangnya. Karena aliansi yang tergabung dalam DSS-TGSL adalah
serikat pekerja/buruh tingkat nasional.
“Akhirnya
kami memilih walk out, karena tujuan kami ingin berdialog dengan Menaker,”
tandasnya.
Aliansi DSS-TGSL terdiri dari Federasi SEBUMI, FSB GARTEKS KSBSI, FSBPI, FKSPN, GSBI, PP FSP TSK-SPSI, SPN. (A1)