Presiden KSBSI: Nasib Perempuan Paling Dilema Dimasa Pandemi

Presiden KSBSI: Nasib Perempuan Paling Dilema Dimasa Pandemi

KSBSI.ORG, Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menyampaikan dimasa pandemi Covid-19, posisi beban perempuan ikut paling terpuruk. Baik dalam ekonomi dan kesehatan mentalnya yang terjadi di negara-negara sedang berkembang. Dia menjelaskan, dalam keseharian kaum Hawa itu banyak bekerja di sektor formal dan informal.

Baca juga:  Baru 10 Negara Meratifikasi Konvensi No. 177 Tentang Pekerja Rumahan, Memperjuangkan Hidup Layak, Bagi Pekerja Migran Perikanan dan Pengolahan Makanan Laut,

“Dan status mereka yang bekerja ini sebagian besar telah menjadi ibu rumah tangga,” ucapnya, saat diwawancarai, di Cipinang Muara, Jakarta Timur (22/1/21).

Tak bisa dipungkiri, bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian global ikut ambruk. Termasuk Indonesia pun masih dibawah bayang-bayang resesi ekonomi. Dan jutaan buruh menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Serta mengalami pengurangan jam kerja, akibat Pembatasan Skala Besar-Besaran (PSBB) dalam mematuhi protokol kesehatan.

“Dari jutaan buruh yang ter- PHK ini, korban terbanyak adalah perempuan yang bekerja di sektor informal. Seperti bekerja di pelayan cafe, restoran, salon.  Sementara, status mereka ini juga sebagai ibu rumah tangga yang selama ikut menanggung beban ekonomi keluarganya,” kata Elly.

Karena itu, pemerintah harus memikirkan nasib perempuan yang tidak bekerja lagi. Kalau tidak diperhatikan, beban yang mereka tanggung bisa berdampak tidak baik kepada keluarga dan lingkungannya. Terutama semakin mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya.

“Sebenarnya ditengah susahnya menghadapi pandemi Covid-19, perempuan itu tidak cengeng dan banyak permintaan. Walau kita tahu perempuan itu yang lebih bannyak menanggung beban. Namun pada umumnya mereka memilih mengalah dan mencari solusi,” ungkapnya.

Lanjut Elly, ia mengatakan berdasarkan hasil penelitian, wabah Corona ikut menyebabkan kasus  kekerasan perempuan meningkat pada 2020. Salah satu contoh kasus, saat suaminya terkena PHK, tentu berdampak pada perekonomian keluarga. Sehingga suaminya menjadi stres dan istrinya pun akhirnya menjadi pelampiasan kemarahan, intimidasi yang berdampak pada psikologisnya. 

Bangkit Dari Keterpurukan

Melihat dilema ini,  Elly menyarankan ada baiknya pemerintah membuat program khusus bagi perempuan yang telah kehilangan kerja. Dalam bentuk bantuan sosial dan jaminan lapangan kerja. Agar beban stres mereka bisa terbantu pulih. Karena kesehatan mental itu penting untuk meningkatkan kinerja profesional.   

“Apalagi Presiden Joko Widodo menyampaikan tahun ini fokus pada pemulihan ekonomi. Saya berharap, pemerintah ikut memprioritaskan agar perempuan bisa normal bekerja lagi. Sehingga roda perekonomian berjalan baik,” ungkapnya.

Terkait program Kartu Prapekerja yang dicanangkan pemerintah sejak awal 2020, dia menilai program itu bagus dalam membuka lapangan kerja bagi 7,2 juta orang yang belum bekerja akhir 2019. Belum lagi, hasil data statistik, setiap tahunnya masyarakat Indonesia yang belum bekerja mencapai 2,3 juta orang.

“Namun program itu kan lari dari perencanaan, karena terjadi pandemi Covid-19 sejak bulan Maret 2020. Sehingga program Prakerja waktu direalisasikan pemerintah akhirnya saya nilai tidak efektif untuk masyarakat,” jelasnya.

Sarannya, program Kartu Prakerja sebaiknya di evaluasi dahulu, kalau tahun ini ingin dijalankan kembali. Pemerintah harus mensosialisasikan dahulu program tersebut kepada masyarakat, supaya paham manfaatnya. Serta membimbing masyarakat, agar paham menjadi peserta Kartu Prakerja lewat teknologi digital.

“Hasil program Kartu Prakerja yang direalisasikan pada 2020 lalu juga tidak menjamin masyarakat bisa mendapatkan akses pekerjaan. Jadi program Prakerja sebaiknya mempunyai format baru dimasa pandemi ini. Supaya bagi peserta yang sudah lulus, langsung mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya.

Tegasnya, Elly mengatakan awal tahun ini harus dijadikan momen kebangkitan perempuan dan terlibat dalam pemulihan ekonomi. Pandemi Covid-19 jangan lagi dijadikan alasan untuk diam tidak bersuara. Tapi harus berani bersuara, memberikan ide, gagasan dan mengkampanyekan hak kesetaraan gender.

“Terjadinya perubahan itu memang harus dimulai dari diri sendiri, kita tidak bisa menunggu orang lain membantu kita untuk melakukan perubahan,” tutupnya. (A1).        

 

Komentar