MK Sudah 3 Kali Minta Alat Bukti Draft UU Cipta Kerja Kepada Pemerintah, Tapi Belum Diserahkan

MK Sudah 3 Kali Minta Alat Bukti Draft UU Cipta Kerja Kepada Pemerintah, Tapi Belum Diserahkan

Supardi S.H, M.H perwakilan Tim Kuasa pemohon Uji Materi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja

KSBSi.ORG, Jakarta-Pada Kamis, 12 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) kembali menggelar Sidang Perkara Nomor 107, 103, 105, 93/PUU-XVIII/2020 dan 6, 4/PUU-XIX/2021 secara online. Salah satunya, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia ikut sebagai pemohon uji materi Undang-Undang Cipta Kerja.

Baca juga:  Komitmen Sosial Dialog SP SB, APINDO dan KEMENAKER di masa Covid 19, Hakim Konstitusi Saldi Isra Luar Biasa Kritis Membongkar Rahasia Dibalik Proses Pembentukan UU Cipta Kerja,

Supardi S.H, M.H perwakilan Tim Kuasa pemohon Uji Materi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mengatakan pemerintah dalam persidangan uji formil yang digelar minggu ini terkesan abai memberikan alat bukti drat UU Cipta Kerja. Padahal  Saldi Isra salah satu Hakim Anggota MK sudah 3 kali meminta waktu di persidangan, tapi pihak kuasa hukum pemerintah belum memberikannya.

Alat bukti pemerintah yang diminta Hakim MK seperti salinan tanda tangan bersama fraksi-fraksi dari DPR waktu pembahasan UU Cipta Kerja. Lalu alat bukti dari pemerintah juga belum diserahkan. Termasuk draft yang harus diserahkan ke presiden juga belum diberikan.

“Kalau kuasa hukum pemerintah belum memberikan alat bukti yang diminta bisa menjadi pertimbangan oleh Hakim MK. Karena, draft UU Cipta Kerja ini kan jumlah halaman dan pasalnya selalu berganti-ganti,” jelasnya, saat dikonfirmasi melalui seluler, Jumat, Jakarta (13/8/21).

Menurut keterangan 3 saksi ahli dalam persidangan tersebut, menegaskan bahwa pembuatan UU Cipta Kerja menyalahi prosedur. Serta tidak mengikuti aturan Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Atau tepatnya dinilai cacat hukum dan batal demi hukum dari filosofis, sosilologis dan yuridis.   

“Menurut saya keterangan saksi ahli itu benar. Sebab selama penyusunan draft UU Cipta Kerja juga tidak transparan dan proses pembahasannya tidak melibatkan semua unsur, salah satunya perwakilan serikat buruh/pekerja. Jadi undang-undang ini memang dipaksa harus segera disahkan,” ucap Supardi yang saat ini menjabat Ketua Umum DPP FSB KAMIPARHO KSBSI).

Menurut para saksi ahli, bahwa proses pembuatan omnibus law di negara maju bisa 7 tahun baru selesai. Namun, anehnya justru di Indonesia proses pembuatannya hanya 1 tahun. Sehingga sekitar 1800 pasal dan 80 undang-undang yang sudah ada dirangkum menjadi omnibuslaw.

Artinya, jika persidangan selanjutnya kuasa hukum pemerintah belum menyerahkan alat bukti uji formil UU Cipta Kerja, saya nilai mereka tidak profesional. Dan 9 kementerian yang bertanggung jawab menghadapi uji formil UU Cipta Kerja di MK sepertinya tak ada sinkronisasi dan saling lempar tanggung jawab.

“Padahal Hakim MK sudah berkali-kali meminta waktu dipersidangan, karena ingin menguji kebenaran syarat sah undang-undang dan meneliti draft UU Cipta Kerja yang asli dan yang tidak benar,” terangnya.

Tegasnya, Supardi mengatakan omnibus law UU Cipta Kerja dianggapnya cacat formil, karena tidak memenuhi syarat pembuatan undang-undang. Termasuk produk kluster ketenagakerjaan lebih cenderung memihak kepentingan investor asing.  

“Tapi disatu sisi UU Cipta Kerja justru mendegradasi hak buruh dari beberapa pasal-pasal yang telah disahkan. Karena pada saat proses pembahasannya saya duga ada  transaksional pasal untuk memenangkan kepentingan investor,” ungkapnya.

Sejauh ini, Supardi menilai Hakim MK selama memimpin persidangan uji formil UU Cipta Kerja juga dianggapnya masih netral. Termasuk saat mendengarkan keterangan para saksi ahli dan gugatan para pemohon tetap berpikir objektif.

“Saya berharap para Hakim MK nantinya bisa membuat keputusan yang baik dalam uji formil UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan,” pungkasnya.

Terakhir Supardi memprotes DPR RI yang absen mengikuti proses persidangan uji materi UU Cipta Kerja di MKRI dengan alasan reses. Kalau memang mengaku mewakili rakyat, seharusnya hadir dipersidangan.

“Dalam hal ini wakil rakyat di Gedung Parlemen bukan mewakili aspirasi rakyat kecil. Tapi lebih memihak kepentingan partai dan kelompok tertentu,” tandasnya. (A1)      

Komentar