KSBSI.org, Jakarta--Menjelang pertemuan internasional Labour20 yang rencananya diadakan di Indonesia dalam waktu dekat ini, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar workshop. Acara ini dihadiri Dedi Hardianto Sekjen KSBSI serta federasi yang berafiliasi. Dan perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Konfederasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (K SARBUMUSI).
Baca juga: Aktivis Buruh Migran Dalam Aliansi KAPBP Menolak Peraturan Kepala BP2MI No.214/2021,
Elly
Rosita Silaban Presiden KSBSI mengatakan workshop ini momen penting bagi
serikat buruh. Sebab, para pemimpin negara maju dalam G20, menunjuk Indonesia
tuan rumah pembahasan ekonomi global dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi
(KTTG20) tahun 2022. Bersamaan itu juga digelar pertemuan pemimpin serikat
buruh/pekerja dari perwakilan negara maju atau dikenal L20.
“Pemerintah
telah meminta KSBSI sebagai penanggung jawab pertemuan L20. Jadi kita semua
harus bekerja keras mensukseskan momen bersejarah ini untuk membawa nama baik
nama negara. Dan ikut menyampaikan suara buruh di forum KTT G20,” ucapnya di
Hotel Dafam Jakarta Timur, Senin (30/8/21).
Ada
2 isu yang dibahas dalam workshop ini. Pertama mengangkat tema ‘Memperluas
Perlindungan Tenaga Kerja untuk Pekerja Platform Digital’ yang disampaikan
Rekson Silban Majelis Pembina Organisasi (MPO) KSBSI. Kemudian pada sessi kedua
tentang ‘Perubahan Iklim (Climate Change) dan Transisi Yang Adil (Just
Transition)’ yang materinya diberikan Maria Emeninta dari IIWE.
Rekson
Silaban menyampaikan perkembangan teknologi digital di era industri 4.0 telah
banyak melahirkan jenis pekerjaan baru dan menghilangkan pekerjaan lama.
Sehingga, ratusan juta orang di dunia ini terpaksa kehilangan pekerjaan. Mau
tidak mau manusia harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar
tidak digilas zaman dalam dunia kerja.
Rekson
juga menyoalkan sampai saat ini, pekerja digital di Indonesia pada umumnya,
seperti ojek online (Ojol) belum mendapat jaminan pasti dalam hubungan kerja.
Karena pihak perusahaan masih menganggap mereka sebatas mitra kerja. Sehingga
tidak mendapatkan upah seperti layaknya pekerja formal dan jaminan sosial (BPJS
Ketenagakerjaan dan Kesehatan).
“Kalau
kita melihat dibeberapa negara, sebenarnya pemerintahnya sudah memberikan
jaminan perlindungan kepada pekerja digital melalui peraturan. Tapi
perlindungan itu bukan semata dari pemerintahnya saja, tapi karena memang ada
inisiatif dari serikat buruhnya,” ungkapnya.
Lanjutnya,
kalau Indonesia membuat undang-undang mungkin jalannya sangat panjang. Dimana
harus ada keterlibatan partisipasi publik mendorong pemerintah membuat
Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk pekerja digital.
“Kemudian harus disetujui dulu dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lalu dibahas di DPR. Menurut saya membuat undang-undangnya menghabiskan banyak waktu, sementara jumlah korban pekerja digital ini banyak dan harus cepat dibantu,” ungkapnya.
Jadi
ada 3 cara memberikan perlindungan pekerja digital. Pertama harus ada campur
tangan pemerintah. Kedua serikat buruh harus melakukan gugatan di Pengadilan
Negeri sampai ke Konstitusi (MK).
Sehingga nanti lahir acuan semua perkara bagi pekerja digital. Ketiga
harus ada dilakukan agenda sosial dialog antara serikat buruh dengan
perusahaan.
“Supaya
pengusaha sadar bahwa pekerja digital memang wajib dilindungi dalam Perjanjian
Kerja Bersama (PKB),” terangnya.
Rekson
mengatakan langkah yang harus dilakukan membela pekerja digital adalah melalui
jalur hukum. Hal ini telah berhasil seperti di negara Inggiris, Korea,
Malaysia. Serikat buruh harus bisa memilih kasus yang berpotensi untuk bahan
gugatan di pengadilan. Sehingga, ketika menang bisa memperoleh yurisprudensi
dari Mahkamah Agung.
Ia
juga optimis, melakukan sosial dialog dengan perusahaan bisa merubah pola pikir
pengusaha. Bahwa pekerja digital seperti Ojol itu bukan sebatas mitra kerja.
“Tapi mereka ini juga harus mendapatka pengakuan dari perusahaan dan
mendapatkan hak jaminan sosial,” jelasnya.
Transisi
Yang Adil
Maria
Emeninta dalam pemaparannya menyampaikan serikat buruh harus bersikap kritis
menyikapi perubahan iklim. Karena, masyarakat dunia sekarang ini sedang
dihadapkan ancaman kerusakan lingkungan. Persoalan ini juga berdampak kepada
ratusan juta pekerja yang terancam dan kehilangan pekerjaan.
“Akibat
ancaman perubahan iklim, salah satunya mengancam 50 juta pekerja di sektor
tambang akan kehilangan pekerjaan. Tentu saja masalah ini harus menjadi
perhatian serius, belum lagi jenis pekerjaan di sektor transportasi, jasa dan
lainnya,” ungkapnya.
Lalu
apa yang harus dilakukan serikat buruh untuk mengatasi ancaman tersebut? Ia
menjelaskan harus ada dorongan untuk ke pemerintah segera melakukan mitigasi
pengurangan emisi. Walau disatu sisi, akan berdampak pada pekerja. Seperti:
1.Hilangnya pekerjaan
2.Menciptakan pekerjaan baru terutama di
daerah baru/pedalamanm
3.Cost
perlindungan sosial : lebih baik>< buruk
4.Kesadaran terhadap pentingnya kerja layak
5.Penutupan banyak perusahaan migas
6.Peningkatan kualitas untuk pekerjaan
alternatif/baru
7.Peningkatan system outsourching
8.Pengalihan transportasi jalan raya ke
Kereta Api
9.Peralihan minyak bumi ke alternatif
tradisional
Sikap
just transision (transisi yang adil) adalah solusi tawaran keseimbangan bagi
dunia industri dan lingkungan. Pada kongres Konfedeerasi Serikat Buruh
Internasiona (ITUC) tahun 2010 juga ikut mendukung kampanye just transision.
Lalu didukung International Labour
Organization (ILO) pada 2013 dan menjadi panduan sejak tahun 2015.
Untuk
mengkampanyekan just transision, maka diperlukan strategi, seperti pemberian
pelatihan dan peningkatan skil (oleh pemerintah dan pengusaha), perlindungan
sosial (antisipasi dan pasca kebijakan), ekonomi mikro, terutama informal. Lalu
akses prioritas pada mantan buruh terimbas (pekerjaan lebih hijau).
“Terakhir
akses terhadap informasi dan mengedepankan agenda sosial dialog ke semua
pihak,” tutupnya. (A1)