KSBSI.org, Pada Kamis, 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) secara kelembagaan telah menjatuhkan putusannya terhadap 12 perkara pengujian (judicial review) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap UUD 1945 dengan amar putusan pada pokoknya menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Baca juga: KSBSI Menghadapi Sidang Ke-3 di Mahkamah Konstitusi, Gonta Ganti Konsep Upah Minimum,
Sejak dalam pelantikan
untuk kedua kalinya menjadi Presiden pada Minggu, 20 Oktober 2019,
Presiden Joko Wododo telah menyatakan cita-citanya untuk memangkas beberapa
Undang-Undang (UU) dengan metode omnibus law. Alasannya banyak UU tumpang
tindih dan menghambat investasi, sedangkan investasi sangat dibutuhkan untuk
menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
Cita-cita itu pun
ditindaklanjuti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga
Hartanto dengan membentuk Satuan Tugas Omnibus Law untuk melakukan kajian dan
konsultasi publik terkait UU apa saja yang perlu dipangkas. Satuan tugas
(Satgas) itu berjumlah 137 orang dari unsur pemerintah, pengusaha dan beberapa
akademisi. Dari unsur buruh/serikat buruh tidak ada.
Karena diketahui salah satu yang akan dipangkas adalah
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh/serikat buruh sebagai stakeholder
(pihak yang berkepentingan langsung) bersurat, resah dan unjuk rasa meminta
supaya dimasukkan dalam Satgas. Namun pemerintah tetap menolak memasukkan.
Kemudian buruh/serikat buruh meminta lagi supaya RUU
diberikan, namun tidak diberikan juga. Kemudian diminta juga supaya dilibatkan
membahas pasal-perpasal, tetap tidak dilibatkan. Terjadilah unjuk rasa
buruh/serikat buruh besaran-besaran diseluruh pelosok nusantara menolak omnibus
law RUU Cipta Lapangan Kerja yang kemudian judulnya diubah menjadi RUU Cipta
Kerja.
Namun demikian Pemerintah dan DPR tetap membahas,
menyetujui, mengesahkan RUU itu menjadi UU dan memberlakukannya sejak tanggal 2
November 2020.
Atas pengesahan dan pemberlakuan UU itu serikat buruh
dan beberapa organisasi lain diluar organisasi buruh mengajukan pengujian UU
itu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dinyatakan tidak
sah. Ada yang menguji hanya objek formilnya (proses pembentukannya), ada yang
menguji hanya objek materiil
(pasal-pasal/normanya/aturannya), tapi ada juga yang sekaligus menguji
objek formil dan materiilnya seperti yang dilakukan Konfederasi Serikat Buruh
Seluruh Indonesia (KSBSI).
Misalnya KSBSI telah mendaftarkan pengujiannya kepada
MK pada tanggal 6 November 2020 dan menjalani persidangan sampai pembacaan
putusan tanggal 25 November 2021 sebanyak 14 kali.
Pada amar putusannya MK pada pokoknya menyatakan
pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena proses
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga
dinyatakan cacat formil.
Dengan membaca
pertimbangan hukum putusan dapat dilihat pokok-pokok alasan 5 orang Hakim MK
menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, yaitu:
1)Pembentukannya tidak didasarkan pada cara dan metode
yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang,
sehingga menimbulkan ketidakjelasan apakah UU ini merupakan UU baru, UU
perubahan ataukah UU pencabutan, dan metode omnibus law belum diadopsi dalam UU
12/2011 juncto UU 15/2019 (UUP3 -UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
2) Terdapat perubahan
beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden. (Dalam alasan ini 5 orang Hakim MK tersebut
mengutip 8 fakta hukum yang ditemukan, salah satunya disebut, “Pada halaman 390
RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah
UU 40/2007, terdapat ketentuan Pasal 153D ayat (2) yang semula berbunyi “Direktur
berwenang menjalankan pengurusan ...” namun pada halaman 613 UU 11/2020
(setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153D ayat (2) diubah menjadi
berbunyi “Direksi berwenang menjalankan pengurusan.........”. Perubahan
tersebut mengganti kata “Direktur” menjadi kata “Direksi”);
3) Pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan
tujuan, asas kejelasan rumusan dan asas keterbukaan. (Terkait asas ketebukaan 5
orang Hakim MK itu menyatakan Pemerintah dan DPR tidak memberikan ruang
partisipasi kepada masyarakat secara maksimal);
Kemudian dengan
membaca pertimbangan hukum putusan dapat dilihat pokok-pokok alasan 5
orang Hakim MK itu menyatakan inkonstitusional UU Cipta Kerja itu bersyarat, yaitu:
1) Banyak antar UU tumpah tindih (obesitas regulasi);
2) Terdapat tujuan besar yang ingin dicapai dengan
berlakunya UU 11/2020;
3) Telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan
pelaksana dan diimplementasikan;
4) Untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak
lebih besar yang ditimbulkan;
5) Diberi waktu 2 tahun kepada Presiden dan DPR
memperbaiki UU pembentukannya melalui metode omnibus law (mengubah, menghapus
dan menambah pasal-pasal/norma dari 78 UU dalam 1 UU) dan sekaligus memperbaiki
materi/pasal-pasal/norma yang dipersoalkan para buruh/serikat buruh.
Banyak kalangan berpendapat putusan ini sebagai jalan
tengah dan peringatan kepada Presiden/Pemerintah dan DPR supaya membuat UU tidak serampangan. Namun
sesungguhnya untuk perkara pengujian UU
Cipta Kerja tidak perlu lagi diberi peringatan karena sudah ada peringatan dari
MK dalam beberapa putusannya. Misalnya, dalam putusan Nomor 27/PUU-VII/2009
dalam perkara pengujian formil UU 3/2009 tentang Perubahan atas UU 5/2004
tentang Perubahan atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang dinyatakan proses
pembentukan UU cacat prosedur. Kemudian dalam putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian
formil UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dalam
pendapat berbeda (dissenting opinion)-nya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
telah membuat terapi kejut (shock therapy) terhadap Presiden dan DPR supaya
tidak membuat UU serampangan, tapi harus berdasarkan UUD 1945.
Pertanyaannya adalah mengapa terjadi putusan seperti
ini yang bersifat tidak jelas dan tidak tegas? Untuk siapa omnibus law UU Cipta
Kerja ini, dan kemenangan siapa putusan MK dinyatakan inkonstitusional
bersyarat?
Dari penalaran yang wajar 5 orang hakim MK ini secara
tidak nyata membuat putusannya dengan
pertimbangan aspek politik. Padahal, sebagai hakim pengadilan yang
mengadili persoalan berbobot konstitusi dan hak asasi manusia tidak tepat
membuat putusan memasukkan aspek
politik. Cukup aspek hukum. Seperti adagium fiat Justitia ruat coelum (hukum
harus ditegakkan terlepas dari konsekuensinya).
Lagi pula, jikapun UU Cipta Kerja itu dinyatakan cacat
permanen sejak lahir tanggal 2 November 2020, konsekuensinya tidak akan sampai
rubuh NKRI. NKRI tetap akan kokoh berdiri. Hanya segelintir kelompok yang
terganggu kepentingannya. Selama 2 tahun ini akan terjadi komplik antara
buruh/serikat buruh dengan pengusaha di tingkat perusahaan tentang aturan mana
yang dipakai, UU Cipta Kerja atau UU 13/2003? Buruh/serikat buruh mengibaratkan
UU Cipta Kerja sebagai mobil yang rusak dan sedang (harus) diperbaiki di
bengkel, mengapa tetap dipakai? Bukankah memakai mobil yang sedang dirawat itu
akan membawa ke jurang yang dalam dan menewaskan para penumpangnya?
Omnibus law UU Cipta Kerja hanya menguntungkan pemilik modal rakus, bukan
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, terlebih buruh
dan keluarganya. Putusan MK ini hanya memenangkan pemilik modal rakus dan
sedikit kemenangan bagi akademisi hukum tata negara yang tidak sesat.
_______
*Koordinator kuasa KSBSI dalam pengujian UU Cipta
Kerja.
*Ketua LBH KSBSI,