KSBSI.org, JAKARTA- Pandemi Covid-19 selama 2 tahun yang terjadi pada 2000 sampai 2021, membuat kondisi perekonomian buruh terpuruk. Termasuk, buruh di sektor Tekstil, Garmen, Sepatu dan Kulit (TGSL) diwilayah Asia. Terlebih lagi, myoritas buruh di industri garmen adalah perempuan. Dimana, saat terjadi pandemi, beban yang mereka hadapi tak tekanan ekonomi saja. Tapi intimidasi kekerasan fisik dan psikologi juga meningkat yang mereka alami di dalam rumah tangga.
Baca juga: Peringati Hari Kerja Layak, Buruh KSBSI Audiensi ke DPRD Provinsi Jawa Tengah, Ini Tuntutannya,
Selain itu,
kondisi perekonomian global juga sedang terguncang akibat perang Rusia-Ukrania.
Sehingga ikut berimbas pada pasar ekspor dari perusahaan padat karya di sektor
garmen, tekstil dan sepatu. Seperti diketahui, negara di Eropa dan Amerika
Serikat dikenal menguasai 90 persen nilai ekspor TGSL. Namun karena perang
masih berkepanjangan, dunia pun terancam resesi global. Termasuk, Indonesia
pada 2023 nanti di prediksi juga terkena resesi.
Ary Joko
Sulistyo Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Garmen,
Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (FSB GARTEKS KSBSI) menyampaikan kondisi pandemi pada 2022 ini
semakin memulih. Sebab pada program pemulihan ekonomi Indonesia pada kuartal ke
II sekarang ini cukup baik. Berada di angka 5,4 persen.
“Karena itu,
saya mendesak pemerintah, kebijakan upah minimum 2023 harus realistis untuk
buruh dan keluarganya,” ucap Ary Joko beberapa waktu lalu di Cipinang Muara
Jakarta Timur.
Dia
menjelaskan, pasca kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 30 persen telah
membuat ekonomi buruh di sektor TGSL semakin terpuruk. Pasalnya, buruh di
industri padat karya ini pada masa pandemi, sebagian besar mereka mendapat
pemotongan upah. Sebagian lagi diliburkan bekerja dan terkena Pemutusan Hubungn
Kerja (PHK).
“Ironisnya
lagi, sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 beserta salah satu
turunannya PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, buruh sektor TGSL ikut
terkena dampaknya pada kebijakan upah 2022. Karena diberbagai daerah, banyak
kebijakan upah minimum tidak naik. Kalau pun ada kenaikan tapi tidak
signifikan,” jelasnya.
Tentu saja,
upah buruh murah ini tak bisa menutupi kebutuhan ekonomi mereka. Seperti biaya
kebutuhan sembako, pendidikan anak, harga kontrakan rumah serta biaya
transportasi yang naik. Menurutnya, pemerintah tidak boleh tutup mata ditengah
situasi yang sulit ini dan jangan hanya memerhatikan kepentingan pengusaha.
Sementara kesejahteraan buruh masih banyak terabaikan.
Padahal yang
dikerjakan buruh sektor TGSL adalah membuat produk brand-brand terkenal di
pasar global. Seperti Nike, Adidas, Puma dan produk internasional lainnya yang
menguntungkan pengusaha. “Tapi dalam soal upah, buruh di sektor TGSL masih
banyak diberi murah. Bahkan, banyak pengusaha nakal belum mengikutsertakan
mereka dalam program jaminan perlindungan sosial,” jelasnya.
Lalu berapa
idealnya upah yang layak untuk buruh di sektor TGSL? Dia berpendapat layaknya
upah yang seharusnya nyata diterima buruh TGSL itu Upah Minimum Layak Berlaku
Nasional adalah Upah Nasional 2022=2023 Rp 8.107.632. Dengan dasar perhitungan,
seorang pekerja harus dapat menghidupi dirinya sendiri dan dua “unit konsumsi”
lainnya. (1 unit konsumsi=1 dewasa atau 2 anak-anak).
“Kemudian,
orang dewasa membutuhkan 3.000 kalori sehari untuk dapat melakukan pekerjaan
fisik. Terakhir, perhitungan jumlah upah buruh dirumuskan berdasar pengeluaran
konsumsi barang dan jasa setiap manusia yang disebut dengan Purchasing Power
Parity (PPP) atau Paritas Daya Beli,” ungkapnya.
Ia
menyampaikan analisa perhitungan upah minimum untuk buruh sektor TGSL pada 2023
ini juga tidak mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan. Karena,
jika mengacu pada PP tersebut, tentu saja tidak menyentuh pada subtansinya.
Termasuk tidak ada kaitan perang Rusia-Ukrania yang saat ini berdampak pada
ancaman resesi dunia dan terjadi inflasi.
“Pemerintah
harus sadar, dampak pandemi dan perang Rusia-Ukrania membuat kondisi ekonomi
buruh TGSL terpuruk. Jadi sudah sewajarnya jika pada 2023 nanti pemerintah
memberikan kebijakan upah minimum yang kongkrit sesuai kebutuhan buruh,”
tegasnya.
Sekadar tahu,
FSB GARTEKS KSBSI dikenal konsisten terlibat kampanye internasional tentang
jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja di sektor industri TGSL. Dan
mendukung serikat pekerja dari wilayah produksi Asia, Eropa Timur, dan Amerika
Tengah berkumpul pada September 2019, untuk mengkampanyekan gerakan upah layak
hidup global bagi semua pekerja sektor produksi garmen.
Sekarang ini,
ia melihat undang-undang perburuhan yang cepat disahkan di beberapa negara
Asia, telah melemahkan kekuatan serikat buruh. Kebijakan undang-undang yang
dibuat penguasa politik ini menekan upah minimum untuk kepentingan perusahaan
merek global. Kemudian, negara-negara produksi di Asia bersaing untuk
mendapatkan pesanan merek untuk memperluas pangsa mereka di pasar garmen
global.
Dasar dari
kompetisi ini adalah upah yang rendah. Kekuatan pasar merek dan praktik
pembelian yang tidak jelas memaksa pemerintah negara produksi untuk secara
kompetitif menekan upah minimum nasional mereka dan dalam beberapa kasus.
“Bahkan secara
hukum mengizinkan upah sektor garmen khusus ditetapkan di bawah upah minimum
resmi negara tersebut,” tutupnya. (A1)