KSBSI.ORG:, Jakarta - Tim 11 kuasa hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang dipersiapkan melakukan Judicial Review (JR) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja melakukan konsolidasi di Hotel Bumi Wiyata, Depok Jawa Barat. Agenda tersebut diadakan selama 2 hari, dari tanggal 20-21 November 2020. Untuk membahas materi sidang dan strategi JR saat proses persidangan yang digelar Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Jumhur Hidayat Dinyatakan Positif Covid-19, Sekjen KSBSI Desak Polri Tangguhkan Penahanan, Kemnaker Cairkan Lagi Pembayaran Termin Kedua BSU, Gonta Ganti Konsep Upah Minimum,
KSBSI sendiri telah merekomendasikan 11 orang pengacara yang
dipersiapkan untuk melakukan gugatan formil dan materil UU Cipta Kerja di MK.
Sebagai ketua tim hukum, Harris Manalu SH, lalu Parulian Sianturi SH, Saut
Pangaribuan SH., MH, Carlos Rajagukguk SH, Abdullah Sani SH, Haris Isbandi SH,
Supardi SH, Sutrisna SH, Trisnur Priyanto SH, Tri Pamungkas SH., MH, Irwanto
Bakara SH.
Sementara, dalam pembahasan konsolidasi itu, ada 3 poin yang
dibahas. Diantaranya, 1. Tentang membicarakan penyamaan persepsi materi
judicial review. 2. Pembagian tugas tim yudisial, perlengkapan sidang virtual
dan administrasi. 3. Pembahasan strategi penanganan perkara dan anggaran.
Harris Manalu mengatakan, bahwa surat permohonan judicial
review ke MK telah resmi didaftarkan dan tinggal menunggu jadwal persidangan.
Permohonan pengujian formil Bab IV dan pengujian materil pasal 42 ayat (3)
huruf c, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61 ayat (3), Pasal 61A ayat (1), Pasal 89,
Pasal 90B, Pasal 154A, Pasal 156, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 163, Pasal 164,
Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171,
Pasal 172 bagian kedua serta Pasal 151, pasal 53, Pasal 57, Pasal 89A, Bagian
kelima Bab IV Undang-Undang No. 11 Republik Indonesia Nomor 6573 atau UU Cipta
Kerja.
“Sebagai pemohon judicial review Elly Rosita Silaban, Dedi
Hardianto, Presiden dan Sekjen KSBSI,” ucapnya, Sabtu (21/11/20).
Kata Harris, materi judicial review yang sudah disiapkan akan
melakukan gugatan materil, terkait dampak tekanan mental terhadap pasal UU
Cipta Kerja tentang status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan kerja
kontrak (outsourcing). Digugatnya pasal ini, karena berdasarkan penelitian di
negara-negara Eropa, menyimpulkan bahwa banyak pola hubungan kerja yang bersifat
temporer, bisa berdampak terhadap penyakit mental terhadap pekerja/buruh.
Seperti stres dan depresi.
“Imbas dari penyakit mental ini pun bisa menimbulkan tindakan
kriminal dan melampiaskan memakai narkoba,” ujarnya.
Karena itu, KSBSI mengingatkan dan meminta agar MK segera menggugurkan
pasal-pasal yang berpotensi merugikan buruh itu. Dalam persidangan nanti,
Harris mengatakan pihaknya akan menghadirkan saksi ahli dari bidang psikologi
hubungan industrial.
“Berhubung di negara kita masih minim ada saksi ahli yang
memahami masalah ini, maka kami akan menghadirkan penelitinya dari Eropa, lewat
bantuan jaringan serikat buruh internasional yang dimiliki KSBSI. Saat di
persidangan, peneliti ini akan memaparkan hasil penelitiannya secara vitual
dari perwakilan Kedubes Indonesia,” kata Harris.
Diluar penelitian, Harris mengatakan sebenarnya kasus
penyakit mental dalam dunia hubungan industrial telah banyak ditemukan di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena, status kerja kontrak yang tidak pasti, tidak
ada jaminan sosial, upah murah yang menimbulkan stres dan depresi.
“Bahkan di negara maju seperti di Eropa kasus ini sangat
banyak ditemukan apalagi di Indonesia dengan disahkannya UU Cipta Kerja, yang
saya nilai semakin mendegradasi hak buruh. Saya berharap permohonan judicial
review masalah pasal PKWT dan status outsourcing yang bisa berdampak penyakit
mental, MK bisa membatalkannya,” tandasnya.
Sementara Sekjen KSBSI Dedi Hardianto menyampaikan mendukung penuh
langkah dan strategi judicial review yang disiapkan oleh tim kuasa hukum KSBSI.
Dia menilai, apa yang sedang diperjuangkan ini bukan semata untuk kepentingan
KSBSI.
“Tapi yang sedang diperjuangkan adalah untuk kepentingan semua
buruh di Indonesia dan menjadi catatan sejarah untuk gerakan KSBSI kedepannya,”
kata Dedi.
Terkait biaya judicial review UU Cipyta Kerja di MK, Dedi
mengatakan organisasinya akan mengumpulkannya secara gotong royong. Semua
federasi serikat buruh yang berafiliasi dengan KSBSI, baik dari pengurus pusat,
cabang, komisariat dan anggota nantinya diajak terlibat untuk penggalangan
dana.
“Sejak dulu KSBSI sudah terbiasa berjuang secara mandiri
dengan semangat solidaritasnya. Kalau anggaran judicial review ini dicari
secara individual, kayaknya sangat sulit dikumpulkan,” ungkapnya.
Ia juga optimis, tim kuasa hukum judicial review UU Cipta
Kerja yang dipersiapkan KSBSI adalah pengacara-pengacara yang telah banyak
makan garam di dunia hubungan industrial. Mereka juga semuanya adalah kader
terbaik KSBSI yang berlatar ilmu hukum yang sangat memahami regulasi hukum
perburuhan dan ahli mengadvokasi buruh.
“Saya yakin tim kuasa hukum KSBSI saat persidangan judicial
review UU Cipta Kerja nanti bisa bekerja dengan baik. Untuk melawan dan
menggugurkan pasal-pasal krusial yang memang merugikan masa depan buruh,”
tutupnya. (A1)